China memiliki angkatan udara terbesar ketiga di dunia dan mungkin
melampaui Amerika Serikat dalam dalam 15 tahun ke depan. Namun dalam
perang udara dengan Angkatan Udara AS, Beijing akan membutuhkan lebih
dari sekadar pesawat. Mereka juga membutuhkan pilot tempur dengan
kemampuan baik untuk bisa menghadapai pilot Amerika yang dikenal dengan
kemampuan tinggi karena latihan dan pengalaman tempurnya.
Saat ini, pilot tempur China sedang berjuang untuk membangun teknik
pelatihan yang intensif dan efektif. Ini sebagai bentuk kesadaran bahwa
mereka masih memiliki tingkat kemampuan yang jauh di bawah Amerika atau
Rusia.
Menurut laporan terbaru oleh RAND Corporation, sebuah think tank yang memiliki hubungan dekat dengan Angkatan Udara AS, Angkatan Udara Pembebasan Rakyat China mulai mengubah cara melatih pilot. Perubahan ini, dari waktu ke waktu, bisa sangat berpengaruh dalam upaya mengurangi kesenjangan keterampilan antara angkatan udara China dan Amerika.
Sebagaimana dilaporkan The Week Rabu 28 September 2016, Angkatan Udara China jauh tertinggal dengan Amerika Serikat karena banyak hal, salah satunya adalah faktor sejarah. Pengalaman traumatis dari Perang Dunia II, ketika 14 juta orang China kehilangan nyawa mereka dalam invasi dan pendudukan Jepang, telah membentuk strategi China untuk membangun pasukan darat besar.
Selama Perang Dingin, para pemimpin Beijing melihat risiko invasi lain, terutama dari Uni Soviet sehingga mereka terus menggenjot kekuatan darat mereka. Pada akhirnya matra lain lebih dilupakan.
Tetapi China telah melakukan reformasi militer besar sejak 1980-an yang bertujuan memperluas kehadiran mereka di Laut China Selatan dan Timur, sehingga memaksa angkatan laut dan udara berhadapan dengan Amerika Serikat. China juga mengurangi kekuatan pasukan daratnya dan memperluas angkatan udara dan angkatan laut serta memikirkan kembali tentang bagaimana berperang dengan istilah yang berbeda.
Tetapi struktur yang sangat terpusat dan top-down tetap menghambat keterampilan pasukan tempur. Rencana realistis dan panduan pelatihan tidak diterjemahkan dengan baik dalam pertempuran.
Pelatihan diperlukan untuk membiasakan pilot dengan perubahan kondisi dan untuk membuat keputusan di tempat. “Sebagian besar pilot, bahkan mungkin semua, melakukan manuver taktis mereka didikte komandan di menara kontrol,” tulis laporan itu.
Dicontohkan pesawat yang paling penting dalam formasi tempur adalah pesawat yang memimpin. Pada dasarnya, pesawat diawaki oleh pilot berpengalaman yang bertanggung jawab untuk memerintah formasi.
Pilot pemimpin China sering tidak memiliki keterampilan taktis, manuver udara dan rencana penerbangan berubah tanpa instruksi dari darat.
Keadaan semakin lebih buruk karena mereka sering menunda “komando darat dan bimbingan personil selama konfrontasi,” laporan RAND mengutip koran angkatan udara China Kongjun Bao.
“Dengan demikian, ada banyak faktor yang tidak menguntungkan yang terjadi selama [pelatihan] pertempuran udara. Misalnya, komando darat seringkali tidak mampu bersaing dengan situasi udara yang kompleks dan berubah-ubah,” tambah Kongjun Bao.
“Pilot terlalu banyak mengandalkan perintah dan bimbingan dari darat, yang tidak kondusif untuk meningkatkan antusiasme dan inisiatif dari kombatan udara.”
Masalah yang sama muncul selama serangan target darat. Dalam sebuah latihan, komandan menguji pilot dengan mengubah target mereka secara “ad-hoc”, namun penerbang terbang terlalu rendah dan tidak bisa mendengar perintah.
Beijing bahkan menyeret pilot antara pangkalan udara yang berbeda untuk bercampur dalam medan pertempuran. Selama pertempuran udara tiruan, komandan telah membatasi jumlah informasi antara formasi sebelum mereka melancarkan duel simulasi.
PLAAF bahkan “sering menghapus pembatasan keamanan,” tambah laporan itu.
Tapi pilot lebih baik mungkin tidak banyak dipedulikan, pada akhirnya. Beijing mengantisipasi potensi konflik dengan Amerika Serikat di Pasifik Barat dengan mengandalkan keunggulan jumlah.
Menurut laporan terbaru oleh RAND Corporation, sebuah think tank yang memiliki hubungan dekat dengan Angkatan Udara AS, Angkatan Udara Pembebasan Rakyat China mulai mengubah cara melatih pilot. Perubahan ini, dari waktu ke waktu, bisa sangat berpengaruh dalam upaya mengurangi kesenjangan keterampilan antara angkatan udara China dan Amerika.
Sebagaimana dilaporkan The Week Rabu 28 September 2016, Angkatan Udara China jauh tertinggal dengan Amerika Serikat karena banyak hal, salah satunya adalah faktor sejarah. Pengalaman traumatis dari Perang Dunia II, ketika 14 juta orang China kehilangan nyawa mereka dalam invasi dan pendudukan Jepang, telah membentuk strategi China untuk membangun pasukan darat besar.
Selama Perang Dingin, para pemimpin Beijing melihat risiko invasi lain, terutama dari Uni Soviet sehingga mereka terus menggenjot kekuatan darat mereka. Pada akhirnya matra lain lebih dilupakan.
Tetapi China telah melakukan reformasi militer besar sejak 1980-an yang bertujuan memperluas kehadiran mereka di Laut China Selatan dan Timur, sehingga memaksa angkatan laut dan udara berhadapan dengan Amerika Serikat. China juga mengurangi kekuatan pasukan daratnya dan memperluas angkatan udara dan angkatan laut serta memikirkan kembali tentang bagaimana berperang dengan istilah yang berbeda.
Tetapi struktur yang sangat terpusat dan top-down tetap menghambat keterampilan pasukan tempur. Rencana realistis dan panduan pelatihan tidak diterjemahkan dengan baik dalam pertempuran.
Pelatihan diperlukan untuk membiasakan pilot dengan perubahan kondisi dan untuk membuat keputusan di tempat. “Sebagian besar pilot, bahkan mungkin semua, melakukan manuver taktis mereka didikte komandan di menara kontrol,” tulis laporan itu.
Dicontohkan pesawat yang paling penting dalam formasi tempur adalah pesawat yang memimpin. Pada dasarnya, pesawat diawaki oleh pilot berpengalaman yang bertanggung jawab untuk memerintah formasi.
Pilot pemimpin China sering tidak memiliki keterampilan taktis, manuver udara dan rencana penerbangan berubah tanpa instruksi dari darat.
Keadaan semakin lebih buruk karena mereka sering menunda “komando darat dan bimbingan personil selama konfrontasi,” laporan RAND mengutip koran angkatan udara China Kongjun Bao.
“Dengan demikian, ada banyak faktor yang tidak menguntungkan yang terjadi selama [pelatihan] pertempuran udara. Misalnya, komando darat seringkali tidak mampu bersaing dengan situasi udara yang kompleks dan berubah-ubah,” tambah Kongjun Bao.
“Pilot terlalu banyak mengandalkan perintah dan bimbingan dari darat, yang tidak kondusif untuk meningkatkan antusiasme dan inisiatif dari kombatan udara.”
Masalah yang sama muncul selama serangan target darat. Dalam sebuah latihan, komandan menguji pilot dengan mengubah target mereka secara “ad-hoc”, namun penerbang terbang terlalu rendah dan tidak bisa mendengar perintah.
Beijing bahkan menyeret pilot antara pangkalan udara yang berbeda untuk bercampur dalam medan pertempuran. Selama pertempuran udara tiruan, komandan telah membatasi jumlah informasi antara formasi sebelum mereka melancarkan duel simulasi.
PLAAF bahkan “sering menghapus pembatasan keamanan,” tambah laporan itu.
Tapi pilot lebih baik mungkin tidak banyak dipedulikan, pada akhirnya. Beijing mengantisipasi potensi konflik dengan Amerika Serikat di Pasifik Barat dengan mengandalkan keunggulan jumlah.
0 komentar:
Posting Komentar